Sunan Kalijaga
Sunan Kalijaga
Keberadaan agama Islam di Indonesia tidak bisa dilepaskan dari kebaikan dan ajaran sembilan tokoh pilihan yang dikenal dengan sebutan Walisongo. Mereka mengajarkan ajaran Islam kepada masyarakat Indonesia di berbagai daerah melalui berbagai cara.
Nama dan Asal-usul
Raden Sahid merupakan nama
kecil dari Sunan Kalijaga putra seorang bupati Tuban yaitu Tumenggung
Wilatikta, yang memiliki istri bernama Dewi Nawangrum.Selain nama Raden Sahid
(atau dieja dengan Raden Said menurut beberapa literatur), Sunan Kalijaga juga dikenal
dengan dengan sejumlah nama, yaitu Syaikh Malaya, Lokajaya, Raden Abdurrahman,
Pangeran Tuban, dan Ki Dalang Sida Brangti. Nama-nama tersebut memiliki jalinan
erat dengan perjalanan kisah hidupnya sejak bernama Raden Sahid, Lokajaya,
hingga Sunan Kalijaga.
Dalam Babad Tanah Jawi menyebutkan
bahwasanya Tumenggung Wilatikta adalah nama ayah dari Raden Sahid, yang
dikatakan dalam Babad Tuban sebagai anak dari seseorang yang bukan asli
pribumi jawa yakni Arya Teja. Nama aslinya adalah Abdurrahman merupakan orang
keturunan Arab sekaligus Ulama yang berhasil mengislamkan Bupati Tuban, Arya
Dikara dan menjadi menantunya. Ketika Abdurrahman menggatikan mertuanya menjadi
Bupati Tuban dan mengubah namanya menjadi Arya Teja. Dari pernikahannya dengan
putri Arya Dikara inilah, ia dikarunia seorang anak bernama Arya Wilatikta.
Sebelum menikahi putri Arya
Adikara, Arya Teja telah menikah dengan dengan putri bupati Surabaya, Arya
Lembu Sura. Dari pernikahan tersebut, ia memiliki seorang putri yang kelak akan
diperistri oleh Sunan Ampel yang dikenal dengan nama Nyai Ageng Manila.
Menurut catatan Tome Pires, penguasa Tuban pada tahun 1400M adalah cucu
dari penguasa Islam pertama di Tuban yakni Aria Wilakita, dan Sunan Kalijaga
atau Raden Mas Said adalah putra Aria Wilatikta.
Berikut Nasab lengkapnya menurut Kitab Tarikh Aulia dari KH Bisri
Mustofa dan Kitab Syamsu Dzahirah:
9. Isa ar-Rumi
10. Ahmad al-Muhajir
11. Sayyid Muhammad
12. Sayyid Alwi
13. Ali Khali’ Qasam
15. Muhammad al-Faqih Muqaddam
17. Sayyid Abdullah Azmatkhan
18. Husein Jalaluddin Al Bukhori
19. Ahmad Al Kabir
20. Jalaluddin Husein
21. Ali Nuruddin
22. Syech Subakir
23.
Tumenggung Wilwatikta
24.
Aria Wilwatikta
25.
Sunan Kalijaga alias Raden Said
Sunan Kalijaga alias Raden Said / Lokajaya alias Syekh Malaya / Pangeran Tuban
/ Raden Abdurrahman (Generasi ke-24 dari Rasul, Turunan Rasul ke-23) bin Ahmad
alias Raden Sahur alias Tumenggung Wilatikta (Tuban) bin Syekh Subakir alias
Muhammad Al-Baqir alias Mansur bin Ali Nuruddin bin Ahmad Jalaluddin bin
Abdullah bin Abd
Nama Sunan Kalijaga memiliki
ragam versi pemaknaan yang ditinjau dari asal bahasa pembentuk katanya. Gelar
Sunan yang berasal dari kata susuhunan memiliki arti orang yang
terhormat, sementara kata Kalijaga memiliki banyak versi arti. Versi pertama
nama Kalijaga mengacu pada Bahasa Jawa asli yakni kali adalah sungai dan jaga
berarti menjaga. Hal ini merupakan penafsiran yang didasarkan pada kisah dalam Babad
Tanah Jawi yang mana beliau pernah bertapa ditepi sungai seakan-akan beliau
sedang menjaga sungai tersebut.
Penafsiran
lain mengatakan bahwa menjaga kali maksudnya adalah sungai sebagai pengibaratan
tempat mengalirnya aliran-aliran kepercayaan di Tanah Jawa yang beragam. Beliau
tidak menunjukkan sikap antipati terhadap aliran maupun kepercayaan lain selain
Islam. Sebaliknya aliran-aliran tersebut senantiasa dihadapi dan dengan penuh
toleransi bergaul dengan keberagaman masyarakat. Dikatakan bahwasanya Sunan
Kalijaga adalah satu-satunya wali yang faham dan mendalami segala pergerakan
dan aliran atau agama yang hidup di kalangan rakyat.
Sementara kata kalijaga dalam
versi Bahasa Arab berasal dari kata qadli yang berarti pelaksana,
penjaga, atau pemimpin, lalu kata Jaga adalah zakka yang berarti
membersihkan.Sehingga menurut penafsiran ini kalijaga berasal dari Bahasa Arab
yang telah menurut pengucapan lidah jawa Qadli Zakka yang berarti
penghulu suci. Nama tersebut merupakan nama sanjungan yang diberikan oleh
Pangeran Modang Cirebon tatkala mereka berdiskusi tentang masalah hukum Islam
di Cirebon. Dari nama sanjungan Qadli Zakka tersebut, tempat tinggal
sang Sunan disebut sebagai Kalijaga, yakni nama suatu desa di daerah Kabupaten
Cirebon.
Versi ketiga merupakan
kebalikan dari versi kedua yakni Sang Sunan dijuluki sebagai Kalijaga sebab
beliau merupakan orang terhormat yang pernah mendiami suatu Desa bernama
Kalijaga. Pendapat ini juga menyanggah versi pertama yang menafsirkan kata
Kalijaga dengan “Penjaga Kali”, menurut Prof. Dr. Hoesen Djayaningrat,
penafsiran dengan susunan kata tersebut tidak sesuai dengan corak logat jawa.
Seharusnya jika memang artinya “penjaga kali” maka disebut “jaga kali”.
Sehingga bukan karena suatu tempat terdapat orang yang menjaga kali lalu tempat
tersebut diberi nama Kalijaga, namun nama Sunan Kalijaga lahir sebab yang
bersangkutan menetap di Desa yang bernama Kalijaga. Penafsiran yang
demikian diperkuat dengan pendapat Hadiwijaya yang merujuk nama-nama Sunan
Giri, Sunan Bonang, Sunan Ngudung, Syekh Lemah Abang, yang semua namanya
diberikan berdasarkan tempat tinggal.
Masa Muda dan Pengembangan Keilmuan Sunan Kalijaga
Menurut versi pertama, Raden
Said telah mendapatkan pendidikan agama sejak kecil. Akan tetapi saat melihat
kondisi masyarakat Tuban yang diliputi kemiskinan, kesengsaraan yang dialami
rakyat, jiwanya berontak. Sebab kesengsaraan rakyat tersebut masih harus
ditambah dengan beratnya beban upeti sementara pejabat yang berkuasa
berfoya-foya, pejabat kadipaten menghardik rakyat kecil. Kegelisahan atas
keadaan rakyat tersebut sebenarnya telah disampaikan Raden Said kepada ayahnya.
Namun apa daya ayahnya hanyalah raja bawahan, yang berada di bawah kekuasaan
Majapahit Pusat, yang pada saat itu mulai mengalami masa surut.
Hingga pada akhirnya rasa
solidaritas dan simpati Raden Said kepada rakyat tersebut mengakibatkan jiwanya
berontak dan berujung pada aksi nekat berupa pencurian bahan makanan di Gudang
Kadipaten. Raden Said membagikan makanan dari dalam gudang secara diam-diam dan
membagikannya kepada rakyat miskin secara diam-diam pula. Namun, lewat intaian
penjaga kadipaten lama-kelamaan Raden Said tertangkap dan mendapat hukuman
keras berupa pengusiran.
Pasca pengusiran tersebut ia
mengembara tanpa tujuan pasti, namun tetap dengan misi yang sama, merampok dan
mencuri untuk rakyat kecil. Ia kemudian menetap di hutan Jatiwangi, menjadi
berandal yang merampok orang-orang kaya yang lewat.
Sedangkan versi kedua melihat
bahwasanya Raden Said merupakan sosok yang nakal sejak kecil dan berkembang
menjadi sosok yang sadis ia tak segan untuk merampok bahkan membunuh. Raden
Said digambarkan sebagai seorang yang sakti dan menguasai pencak silat. Karena
kesaktiannya tersebut Raden Said mendapat julukan Berandal Lokajaya. Julukan
ini mengacu pada bahasa Jawa, yakni loka berarti tempat, wilayah, atau
daerah, sedangkan jaya berarti bahagia atau menang, sehingga lokajaya
dapat diartikan sebagai penguasa daerah.
Singkat cerita, kenakalan Raden
Said terhenti setelah ia bertemu dengan Sunan Bonang. Dikisahkan dalam Serat
Lokajaya, ia bertobat di hadapan Sunan Bonang. Saat itu seperti biasa
Lokajaya bersembunyi di balik rimba, sambil mengintai mangsa. Ia melihat orang
tua yang menggunakan pakaian serba gemerlap yakni Sunan Bonang. Lalu Lokajaya
mendekat untuk merampas harta Sunan Bonang, namun Sang Sunan telah mengetahui
niatnya, sehingga ia mengeluarkan kesaktiannya menjelma menjadi empat wujud.
Melihat kesaktian Sunan Bonang, Lokajaya segera melarikan diri, akan tetapi
kemanapun ia pergi selalu dihadang oleh Sunan Bonang. Hingga pada akhirnya ia
terpojok dan bertobat, berserah diri pada Yang Maha Kuasa.
Setelah peristiwa tersebut,
Sunan Kalijaga menjadi murid Sunan Bonang dengan syarat bahwa ia Raden Said
harus menunggu Sunan Bonang dipinggir sungai sambil menjaga tongkatnya hingga
Sunan Bonang kembali. Penantian Raden Said di pinggir kali inilah yang dijadikan
dasar bahwa nama Kalijaga berasal dari kata jaga kali.
Pada tahap berikutnya Sunan
Bonang menggembleng Sunan Kalijaga untuk mewariskan ilmu-ilmu agama dan
spiritualnya. Dikisahkan dalam Serat Kadhaning Ringgit Purwa, suatu
ketika Sunan Bonang meminta agar Sunan Kalijaga seyogyanya menjalani ibadah
dzahir sesuai dalil Qur’an dan Hadis, sehingga ia meminta izin untuk beribadah
haji ke Mekah. Namun ketika telah sampai di Pinang, Sunan Kalijaga bertemu
dengan Maulana Maghribi yang memintanya untuk kembali ke Jawa, yakni dengan
alasan lebih baik membuat masjid-masjid untuk pengembangan dakwah Islam
daripada sekedar melihat Mekah zhahir bikinan Nabi Ibrahim, yang jika tidak
bisa meninggalkan gambarnya malah akan menjadi kafir.
Sementara itu, sebagaimana
Sunan Bonang yang dididik dilingkungan keluarga ibunya yang berasal dari Tuban,
Sunan Kalijaga juga mempelajari kesenian dan kebudayaan Jawa. Sehingga ia mampu
memahami dan menguasai kesusastraan Jawa beserta pengetahuan falak serta
pranatamangsa dari keluarganya, terutama dari Sunan Bonang.
Setelah mampu mewarisi ilmu-ilmu yang diajarkan Sunan Bonang, Sunan Kalijaga masih berguru kepada beberapa wali yang lain, yaitu Sunan Ampel dan Sunan Giri. Dia juga berguru ke Pasai dan berdakwah hingga Patani di Thailand. Dalam Hikayat Patani Sunan Kalijaga juga dikenal sebagai tabib, bahkan mampu meneyembuhkan Raja Patani yang terserang peyakit kulit parah. Di wilayah tersebut Sunan Kalijaga dikenal dengan Syaikh Said. Dia juga dikenal dengan Syaikh Malaya. Setelah beberapa tahun berguru di Pasai dan berdakwah di wilayah Malaka dan Patani, Sunan Kalijaga kembali ke Jawa dan diangkat menjadi anggota Wali Songo, menggantikan Syaikh Subakir yang kembali ke Persia.
Dakwah Sunan Kalijaga
Dalam Babad Demak dituturkan
bahwasanya Raden Said mengawali dakwahnya di Cirebon, tepatnya di Desa
Kalijaga, untuk mengislamkan penduduk Indramayu dan Pamanukan. Pada awal
kedatangannya, Sunan Kalijaga menyamar dan bekerja sebagai pembersih Masjid
Keraton Kasepuhan. Di sinilah Sunan Kalijaga bertemu dengan Sunan Gunung Jati.
Dalam pertemuan itu dikisahkan
bahwa Sunan Gunung Jati sengaja menguji Sunan Kalijaga dengan sebongkah emas
yang diletakkan di bawah padasan. Saat melihat sebongkah emas tersebut Sunan
Kalijaga tidak kaget, mengingat ajaran Sunan Ampel aja gumunan, yang
artinya jangan mudah kaget dan heran. Malah Emas tersebut disulap menjadi batu
oleh Sunan Kalijaga yang digunakan sebagai tempat meletakkan bakiak. Setelah
lulus dari ujian tersebut Sunan Kalijaga dinikahkan oleh Sunan Giri dengan
adiknya sendiri bernama Zaenab.
Menurut Sumber yang diyakini
penganut Tarekat Akmaliyah, sesungguhnya Zaenab adalah putri dari Syaikh Datuk
Abdul Jalil yang masyhur dipanggil dengan Syaikh Siti Jenar. Dari pernikahan
tersebut, Sunan Kalijaga memiliki satu putra bernama Watiswara yang dikenal
dengan nama Sunan Panggung, seorang putri kembarannya bernama Watiswari, dan
seorang putri bernama Ratu Champaka.
Dikisahkan bahwa Sunan Kalijaga
tinggal dalam waktu beberapa tahun saja di Cirebon. Dalam perjalanan hidupnya
selanjutnya, Sunan Kalijaga mengembara ke Bintoro, Demak, dan membantu Sultan
Fatah menyebarkan
Islam di Pulau Jawa, khususnya di daerah Pantai Utara Jawa. Untuk menghargai
jasa Sunan Kalijaga tersebut, Sultan memberikan bumi Kadilangu sebagai bumi
Pardikan kepada Sunan Kalijaga.
Di Kadilangu, Sunan Kalijaga
menetap hingga akhir hayatnya. Kadilangu merupakan tempat Sunan Kalijaga
membina kehidupan rumah tangga. Istri yang disebut-sebut hanyalah Dewi Sarah,
Putri Maulana Ishak, memberikan tiga orang anak kepada Sunan Kalijaga.
Sunan Kalijaga berperan dalam
pendirian Masjid Demak. Salah satu tiang besar yang disebut dengan tiang tatal,
menurut kepercayaan masyarakat merupakan salah satu karomah Sunan Kalijaga yang
dapat menjadikan serpihan-serpihan kayu tatal menjadi tiyang kokoh. Sunan
Kalijaga juga berjasa dalam menentukan arah kiblat masjid yang sesuai dengan
arah Ka’bah. Selain sebagai tempat Ibadah, Masjid Demak juga menjadi pusat pendidikan
sebagaimana pesantren, untuk mengembangkan ilmu pengetahuan, mengingat
bahwasanya pada awal pembentukannya, pesantren belum mencapai bagian final,
sehingga masjid mempunyai fungsi ganda sebagaimana pada masa Rasulullah.
Sunan Kalijaga diakui sebagai Guru
Suci ing Tanah Jawi, artinya guru suci di Tanah Jawa. Sebagaiman dakwah para
Walisongo yang mengedepankah dakwah dengan penuh hikmah dan bijaksana, Sunan
Kalijaga merealisasikan prinsip dakwah sesuai dengan prinsip jawa momong,
momor, momot yang artinya mengasuh, bergaul dan melebur. Artinya dalam
menyampaikan ajaran Islam Sunan senantiasa mengarahkan dan membimbing umat
namun tidak sebagai orang yang ‘jabatan’ agamanya lebih tinggi melainkan dengan
bergaul dan nyawiji, melebur dan menyatu dengan umat.
Dakwah dengan tiga prinsip
tersebut menjadikan Islam berhasil dikembangkan hingga ke pelosok Jawa. Adapun
karya-karya dan peninggalan Sunan Kalijaga yang berupa kesenian sebagai media
dakwah adalah gamelan, wayang kulit, baju takwa Demak, tembang dhandhanggula,
kain batik motif garuda, dan syair-syair pujian pesantren.
Kepiawaian Sunan Kalijaga dalam
mengislamisasi nilai-nilai budaya Nusantara yang berasal dari Hindu rupanya
berhasil untuk menarik perhatian masyarakat Jawa yang menyukai tontonan
pagelaran Wayang. Sang Sunan menggubah pakem-pakem wayang yang semula berkiblat
pada kisah-kisah Hindu disisipi ajaran-ajaran Islam. Saat menyelenggarakan
lakon wayang Sunan Kalijaga meminta upah kepada masyarakat berupa Jimat
Kalimasada, atau ucapan Syahadat. Beliau mau melakonkan wayang untuk
meramaikan pesta asal yang memanggil itu bersedia bersyahadat sebagai kesaksian
bahwa ia rela masuk Islam.
Dengan kemampuan sebagai dalang
yang menakjubkan tersebut, sunan Kalijaga selama berdakwah di Jawa Barat
dikenal penduduk sebagai dalang yang menggunakan nama yang berbeda sebagai nama
samaran. Di Pajajaran, Sunan Kalijaga di kenal dengan nama Ki Dalang Sida
Brangti. Di daerah Tegal dikenal sebagai dalang barongan dengan nama Ki Dalang
Bengkok. Di daerah Purbalingga, Sunan Kalijaga dikenal sebagai dalang topeng
dengan nama Ki Dalang Kumendung, sedangkan di Majapahit dikenal sebagai dalang
dengan nama Ki Unehan. Kegiatan dakwahnya memanfaatkan pertunjukkan tari
topeng, barongan dan wayang yang dilakukan Sunan Kalijaga.
Dalam bidang politik, Sunan Kalijaga memiliki peran sebagai “pengasuh” para Raja dari kerajaan Islam di Jawa. Agus Sunyoto mengatakan bahwasanya tidak ada satu catatan dari naskah-naskah historiografi yang menetapkan kapan Sunan Kalijaga wafat, kecuali bahwa Sunan Kalijaga wafat dan dikebumikan di tanah Kadilangu.Dalam Babad Tanah Jawi Sunan Kalijaga dilukiskan hidup empat era dekade pemerintahan. Yakni masa Majapahit (sebelum 1478), Kesultanan Demak (1481-1546), Kesultanan Pajang (1546-1568 M), dan awal pemerintahan Mataram (1580-an). Dalam babad tersebut juga dituturkan bahwasanya pada saat itu Sunan Kalijaga yang telah berusia lanjut berkunjung ke kediaman Senopati di Mataram. Dan tidak lama setelah itu Sunan Kalijaga wafat. Jika memang kisah ini benar, maka diperkirakan sunan Kalijaga hidup selama 140 tahun.Namun terlepas dari kebenaran kisah ini, Sunan Kalijaga telah menjadi dalah satu tokoh penting yang berhasil menyebarkan Islam di Tanah Jawa, dan dicintai oleh masyarakat Jawa, hal ini nampak dari tempat peristirahatan terakhir Sunan yang tidak pernah sepi dari kunjungan peziarah.
Karya - Karya Sunan Kalijaga
Selama menyebarkan agama Islam di Tanah Jawa, Sunan Kalijaga selalu menggunakan kesenian budaya Jawa dan meninggalkan banyak karya. Bahkan di tempat-tempat tertentu, ajarannya tersebut masih dipelajari dan digunakan hingga zaman sekarang ini. Nah, berikut adalah beberapa karya dari Sunan Kalijaga yang sudah tak asing lagi di mata masyarakat Nusantara, yakni:
1. Seni Wayang
Proses penyebaran agama Islam di masyarakat Jawa yang dilakukan oleh Sunan Kalijaga ini memanfaatkan kebudayaan setempat dalam bentuk wayang. Sebelumnya, wayang kulit di Tanah Jawa ini selalu bersumberkan cerita akan Ramayana dan Mahabarata. Nah, untuk kepentingan dakwah ini, Sunan Kalijaga memberikan pertunjukan wayang dengan corak Islam sehingga muncul lakon wayang seperti Jimat Kalimasada, Dewa Ruci, dan Punakawan. Jimat Kalimasada adalah bentuk perlambangan dari kalimat syahadat, yang mana terdapat nyanyian Kidung Rumekso Ing Wengi.
Sunan Kalijaga menjadikan lakon wayang tersebut sebagai media dakwah penyebaran agama Islam. Dalam pewayangan ini, hampir seluruhnya mementaskan kisah tentang tasawuf dan akhlakul karimah yang berkaitan dengan kebatinan. Berhubung masyarakat pada kala itu adalah pemeluk Budha atau Hindu, sehingga pengajaran tentang kebatinan adalah hal yang cocok.
2. Seni Ukir
Dalam menyebarkan agama Islam, Sunan Kalijaga juga menghasilkan karya berupa seni ukir dengan bentuk dedaunan. Sejak para Wali ini datang ke Nusantara dan mengembangkan dakwah Islam, seni ukir yang berbentuk manusia dan hewan sudah tidak dipergunakan lagi. Seni ukir dedaunan ini diciptakan oleh Sunan Kalijaga yang hingga saat ini masih dapat ditemui dalam alat musik gamelan dan rumah-rumah adat di sekitar Demak dan Kudus.
3. Seni Gamelan
Sunan Kalijaga juga menciptakan alat musik gamelan yang mana berupa gong sekaten dan diberi nama Syahadatain, bermakna sebagai pengucapan dua kalimat Syahadat. Pada zaman sekarang ini, gong tersebut ditabuh pada perayaan Maulid Nabi di sekitaran halaman Masjid Agung Demak. Tujuannya adalah untuk mengundang masyarakat supaya berkumpul di masjid guna mendengarkan ceramah keagamaan.
4. Seni Suara
Sunan Kalijaga juga banyak lho menciptakan karya berupa seni suara, bahkan lagu-lagunya telah dijadikan sebagai lagu tradisional di daerah-daerah tertentu. Sebut saja adalah Ilir-Ilir, Gundul-Gundul Pacul, Kidung Rumeksa ing Wengi, Lingsir Wengi, dan Suluk Linglung. Bahkan, Sunan Kalijaga juga turut serta dalam penciptaan tempat macapat Dhandhanggula yang mana memiliki kolaborasi melodi Arab dan Jawa.
5. Baju Takwa
Sunan Kalijaga menjadi salah satu anggota dari Wali Songo yang memiliki ciri khas yakni cenderung akomodatif terhadap tradisi Jawa. Bahkan dalam cara berpakaiannya, Sunan Kalijaga selalu menggunakan blangkon. Hal ini jelas berbeda sebab para wali lainnya cenderung memakai jubah. Sunan Kalijaga juga diyakini sebagai pencipta baju takwa yang kemudian disempurnakan oleh Sultan Agung. Hingga saat ini, baju takwa ini dijadikan sebagai pakaian adat dan digunakan ketika melangsungkan pernikahan. Saat ini, baju takwa lebih dikenal dengan Surjan.
0 Response to "Sunan Kalijaga "
Post a Comment