Panembahan Selarong
Panembahan Selarong
Menyebut
nama Panembahan Selarong? Mungkin, tidak banyak yang mengenal siapakah tokoh
pelindung Kanjeng Pangeran Diponegoro dalam perjuangannya melawan Agitasi VOC
Kolonial Belanda dan beberapa Petinggi Kasulthanan Mataram Ngayogyakarto
Hadiningrat yang tidak berpihak pada Raden Mas Anta Wirya, atau Kanjeng
Pangeran Diponegoro dalam Perang Diponegoro pada tahun 1825 hingga 1830an.
Menelusur Silsilah Pangeran Selarong-I
Setelah
masa Panembahan Senopati berakhir, selanjutnya Sri Susuhunan Adi Prabu
Hanyakrawati Senapati ing Alaga Mataram [lahir di Kota Gedhe - wafat di
Krapyak,1613] adalah raja kedua Kasulthanan Mataram yang memerintah pada tahun
1601-1613. Ia juga sering disebut dengan gelar anumerta Panembahan Seda ing
Krapyak, yang bermakna "Baginda yang wafat di Krapyak". Tokoh ini
merupakan ayah dari Sultan Agung, raja terbesar Mataram yang menjadi pahlawan
nasional Indonesia.
Nama
asli Prabu Hanyakrawati adalah Raden Mas Jolang, putra Panembahan Senapati raja
pertama Kesultanan Mataram. Ibunya bernama Ratu Mas Waskitajawi, putri Ki Ageng
Panjawi, penguasa Pati. Antara kedua orang tua Mas Jolang tersebut masih
terjalin hubungan sepupu.
Ketika
menjabat sebagai Adipati Anom (putra mahkota), Mas Jolang menikah dengan Ratu
Tulungayu putri dari Ponorogo. Namun perkawinan tersebut tidak juga dikaruniai
putra, padahal Mas Jolang terlanjur berjanji jika kelak dirinya menjadi raja,
kedudukan Adipati Anom akan diwariskan kepada putra yang dilahirkan Ratu
Tulungayu.
Selanjutnya,
dikisahkan bahwa Raden Mas Jolang kemudian menikah lagi dengan Dyah Banowati
putri Pangeran Benawa raja Pajang. Dyah Banowati yang kemudian bergelar Ratu
Mas Hadi melahirkan Raden Mas Rangsang dan Ratu Pandansari yang kelak menjadi
istri Pangeran Pekik. Empat tahun setelah Mas Jolang naik takhta, ternyata Ratu
Tulungayu melahirkan seorang putra bernama Raden Mas Wuryah alias Adipati
Martopuro. Padahal saat itu jabatan adipati anom telah dipegang oleh Mas
Rangsang.
Adalah
Pangeran Adipati Martopuro Bin Raden Mas Jolang, lahir di Kota Gedhe,1605-wafat
di Magelang,1688, adalah raja ketiga Kesultanan Mataram yang memerintah hanya
satu hari pada tahun 1613. Raden Mas Wuryah setelah menjabat menjadi Adipati
Mataram dengan gelar Adipati Mertopuro dalam waktu satu hari, kemudian
digantikan oleh Raden Mas Rangsang atau lebih dikenal kemudian dengan gelar
Sulthan Agung Mataram.
Dalam
kisah, Raden Mas Jolang menjabat sebagai Adipati Anom dalam pemerintahan
ayahnya, yaitu Panembahan Senopati. Sebagai seorang calon raja, ia pernah
berjanji pada istrinya jika kelak dirinya menjadi raja, maka putra mereka yang
akan dijadikan sebagai Adipati Anom, yang dimaksud kemudian adalah Raden Mas
wuryah bergelar Adipati Maertopuro.
Perkawinan
Raden Mas Jolang dengan Ratu Tulungayu tidak juga dikaruniai anak. Mas Jolang
memutuskan menikah lagi dengan Dyah Banowati putri Pangeran Benawa raja Pajang.
Dari perkawinan itu lahir raden Mas Rangsang tahun 1593. Ketika Mas Jolang
sudah naik takhta bergelar Prabu Hanyokrowati, barulah Ratu Tulungayu
melahirkan Mas Wuryah tahun 1605. Prabu Hanyokrowati meninggal dunia tahun
1613. Ia sempat berwasiat supaya takhta Mataram diserahkan kepada Raden Mas
Rangsang. Namun, karena pernah berjanji pada Ratu Tulungayu, maka Raden Mas
Wuryah harus dijadikan raja selama satu hari terlebih dahulu, sebagai sekadar
pemenuhan janji.
Raden
Mas Wuryah pun naik takhta Kesultanan Mataram dan memerintah hanya satu hari
bergelar Adipati Martapura, dan turun tahta dengan alasan menderita tuna
grahita atau kurang jelas pendengarannya sehingga dianggap para penasehat
kerajaan akan mengganggu jalannya pemerintahan Mataram.
Esoknya,
takhta pun berpindah kepada Mas Rangsang alias Sultan Agung. Hal inilah agaknya
yang kemudian menjadi sumber perseberangan pendapat antara pendukung setia
Raden Mas Wuryah dengan para penasehat Sulthan Agung, penguasa Mataram
selanjutnya. Namun, Raden Mas Wuryah tetap setia mengabdi pada kedaulatan
Mataram dan mengabdikan diri bersama para kaum ulama ke jalan keagamaan.
Rupanya,
kedekatan Adipati Mertopuro dengan para ulama dan lingkungan kauman atau
pesantren menjadikan beberapa Penasehat Kerajaan tidak suka dan menganggap hal
itu sebagai ancaman bagi kedaulatan Mataram di masa depan. Terlebih, karena
Raden Mas Wuryah atau Adipati Mertopuro itu merupakan putra pertama Sunan Seda
Ing Krapyak. Artinya, Raden Mas Wuryah tetap berkandidat menjadi Raja Mataram?
Namun,
Raden Mas Wuryah yang berdarah Panembahan Ageng Ponorogo itu rupanya justru
lebih gandrung dengan dunia keagamaan dan kemasyarakatan, terlebih setelah
pendengarannya terkena racun hingga menjadi kurang pendengaran tidak
menjadikannya kehilangan cintanya pada ajaran Islam. Setelah ia meninggalkan
lingkungan kerajaan Mataram dan hidup menyepi dengan para santri di Selarong,
timbullah Padhepokan Selarong.
Kemudian,
Raden Mas Wuryah berganti nama menjadi Pangeran Selarong-I.
Masa Sultan Agung
Pada
tahun 1636, Sultan Agung mengirim Kanjeng Pangeran Selarong untuk menaklukkan
Blambangan di ujung timur Pulau Jawa. Meskipun mendapat bantuan dari Bali,
negeri Blambangan tetap dapat dikalahkan pada tahun 1640.
Seluruh
Pulau Jawa akhirnya berada dalam kekuasaan Kesultanan Mataram, kecuali Batavia
yang masih diduduki militer VOC-Belanda. Sedangkan desa Banten telah
berasimilasi melalui peleburan kebudayaan. Wilayah luar Jawa yang berhasil
ditundukkan adalah Palembang di Sumatra tahun 1636 dan Sukadana di Kalimantan
tahun 1622. Sultan Agung juga menjalin hubungan diplomatik dengan Makassar,
negeri terkuat di Sulawesi saat itu.
Sultan
Agung berhasil menjadikan Mataram sebagai kerajaan besar tidak hanya dibangun
di atas pertumpahan darah dan kekerasan, namun melalui kebudayaan rakyat yang
adiluhung dan mengenalkan sistem-sistem pertanian. Negeri-negeri pelabuhan dan
perdagangan seperti Surabaya dan Tuban dimatikan, sehingga kehidupan rakyat
hanya bergantung pada sektor pertanian.
Sultan
Agung juga menaruh perhatian pada kebudayaan. Ia memadukan Kalender Hijriyah
yang dipakai di pesisir utara dengan Kalender Saka yang masih dipakai di
pedalaman. Hasilnya adalah terciptanya Kalender Jawa Islam sebagai upaya
pemersatuan rakyat Mataram. Selain itu Sultan Agung juga dikenal sebagai
penulis naskah berbau mistik, berjudul Sastra Gending.
Di
lingkungan keraton Mataram, Sultan Agung menetapkan pemakaian bahasa bagongan
yang harus dipakai oleh para bangsawan dan pejabat demi untuk menghilangkan
kesenjangan satu sama lain. Dengan demikian diharapkan dapat terciptanya rasa
persatuan di antara penghuni istana.
Sementara
itu Bahasa Sunda juga mengalami perubahan sejak Mataram menguasai Jawa Barat.
Hal ini ditandai dengan terciptanya bahasa halus dan bahasa sangat halus yang
sebelumnya hanya dikenal di Jawa Tengah.
Menjelang
tahun 1645 Sultan Agung merasa ajalnya sudah dekat. Ia pun membangun Astana
Imogiri sebagai pusat pemakaman keluarga raja-raja Kesultanan Mataram mulai
dari dirinya. Ia juga menuliskan serat Sastra Gending sebagai tuntunan hidup
trah Mataram.
Sesuai
dengan wasiatnya, Sultan Agung yang meninggal dunia tahun 1645 digantikan oleh
putranya yang bernama Raden Mas Sayidin sebagai raja Mataram selanjutnya,
bergelar Amangkurat-I.
Masa Kekuasaan Sunan Amangkurat-I
Dikisahkan,
bahwa setelah Kejayaan Sultan Agung Mataram surut, maka raja yang
menggantikannya adalah Susuhunan Amangkurat-I atau Amangkurat Agung. Masa
pemerintahan Amangkurat-I ini diliputi suasana yang mencekam, penuh kekerasan
dan pembunuhan. Begitu banak peristiwa sejarah yang melibatkan keris sebagai
alat pembunuh .
Pertama
kali adalah peristiwa Geger Pangeran Alit. Pangeran Alit sebenarnya adalah adik
Sunan Amangkurat-I sendiri, yang dicurigai akan memberontak karena banyak
merekrut dan di cintai para lurah yang menjadi bawahannya. Lurah dan pengikut
Pangeran Alit dibunuh satu persatu dengan jalan pembunuhan politis yang rahasia
dan dilakukan oleh para Telik Sandhi sang Raja. Karena marah, Pangeran Alit
memprotes dengan datang di Alun-alun Plered dengan di iringi para lurah yang
hanya sedikit jumlahnya. Kemudian terjadi perkelahian di alun-alun Plered
mataram, para lurah bayak yang terbunuh.
Pangeran
Alit kemudian mengamuk di alun-alun dengan kerisnya yang sakti. Beberapa orang
telah menjadi korban keris Pangeran Alit. Ki Demang Malaya atau juga disebut
Cakraningrat-I dari Madura membujuk agar Pangeran Alit menghentikan pertumpahan
darah dengan cara berlutut dihadapan Pangeran Alit dan memohon dengan menangis.
Karena marah yang tak tekendalikan, Ki Demang Malaya ditusuk keris lehernya
oleh Pangeran Alit, Demang Malaya meninggal seketika.
Pengikut
Demang Malaya kemudian mengeroyok Pangeran Alit, sampai Pangeran Alit gugur.
Orang-orang Madura yang mengeroyok Pangeran Alit juga dibunuh dengan keris oleh
Prajurit Amangkurat-I. Peristiwa ini terjadi pada tahun 1647 Masehi, sesuai
dengan menurut catatan Belanda (De Graaf, 1987,34-36.).
Peristiwa
kedua adalah pembunuhan kaum ulama. Amangkurat Agung selalu curiga dan khawatir
terhadap para ulama, yang masa itu jumlah dan pengaruhnya semakin besar di
wilayah Kasulthanan Mataram. Maka, Amangkurat Agung menugaskan empat orang
terkemuka membentuk kesatuan prajurit rahasia khusus, Telik Sandhi, yang
menyelidiki kaum ulama terkemuka di wilayah Mataram.
Setiap
jumat para perajurit rahasia ini mengutit para ulama ang sedang sholat Jumat.
Setelah sholat Jumat, dibunyikan meriam Sapu Jagad sebagai tanda rahasia. Maka
pada saat pertanda itu ratusan bahkan ribuan santri dan ulama dihabisi dengan
keris.
Meriam besar sebagai tanda itu sebenarnya bernama Kyahi Pancawara dibuat masa
Sultan Agung yang kemudian diganti nama dengan Kyahi Sapu Jagad. Meriam besar
itu masih dapat dilihat sampai sekarang terdapat dimuka Pagelaran Alun-alun
utara Kraton Surakarta.
Peristiwa
ini tidak tertulis pada ceritera tutur dan babad Jawa, tetapi terdapat pada
sejarah Banten, Cirebon dan Belanda. Peristiwa ini terjadi kira-kira seputar
tahun 1648, sebagaimana catatan De Graaf, 1987,35-37.)
Peristiwa
ketiga adalah pembunuhan Kyai Dalem. Kyai Wayah di Pajang adalah seorang
dhalang Wayang Gedhog yang mempunyai anak perempuan yang amat cantik tapi sudah
bersuami , Suami anak Ki Wayah benama Kyahi Dalem. Sunan Amangkurat-I
menginginkan wanita tersebut menjadi isterinya? Sekonyong-konyong Kyai Dalem
meninggal terbunuh oleh keris, dan tidak ketahuan siapa pembunuhnya? Sekali
lagi Telik Sandhi Amangkurat-I bekerja secara rahasia.
Anak
perempuan dan istri kyi Dalem kemudian diboyong ke kraton dan dinikahi Sunan
Amangkurat-I, walaupun telah hamil dua bulan. Wanita cantik ini kemudian
terkenal sebagai Ratu Mas Malang yang kemudian meninggal dicurigai telah
diracun juga oleh Telik Sandhi Amangkurat-I.
Sang
Sunan Amangkurat-I setelah kematian Ratu Malang menjadi tertekan jiwanya
seperti orang tidak waras. Bersama kematian Ratu Malang telah dihukum mati
sekitar 43 orang wanita dayang, pelayan, emban dari keputren, sebagai hukuman
karena keteledoran mereka melayani Ratu Malang. Sebagaimana catatan De Graaf;
1987,18-24.).
Peristiwa
besar terjadi lagi, gudang mesiu Mataram meledak meninmbulkan malapetaka dan
kematian yang banyak. Yang dituduh bertanggung jawab atas meledaknya gudang
peluru tersebut adalah Raden Wira Menggala atau Riya menggala dan Raden
Tanureksa. Bersama kerabat mereka sejumlah 27 orang dihukum mati dengan ditusuk
keris Telik Sandhi amangkurat-I. Lebih menyedihkan lagi, Raden Wira Menggala
yang diperintah membunuh adalah kakanya sendiri?, yaitu Pangeran Purbaya.
Peristiwa
ini terjadi pada pertengahan tahun 1670. (De Graaf,1987: 27-28).
Beberapa babad telah menuliskan peristiwa itu, yaitu Babad Tanah Jawi, Babad
Momana, dan catatan Belanda raporten).
Peristiwa lain adalah pembunuhan Pangeran Selarong-I
Pangeran
Selarong atau putra Sunan Seda Krapyak dengan Putri Lungayu dari Ponorogo ini
juga dianggap menjadi sumber ancaman bagi Sunan Amangkurat-I karena ditengarai
Padhepokannya di Selarong banyak di datangi para Ulama dan santri dari beberapa
daerah di luar Mataram. Hal itu masuk akal, karena hasil perjuangan dan
pengabdian Pangeran Selarong pada Sulthan Agung hingga berhasil memadamkan
berbagai pemberontakan di daerah Jawa Timur. Berbagai keberhasilan serta citra
sebagai seorang ulama menjadikan Pangeran Selarong banyak disuka oleh kalangan
ulama.
Rupanya,
hal tersebut menjadikan Sunan Amangkurat-I murka dan mengirimkan utusannya
untuk membuat suatu intrik yang akan menyudutkan Kanjeng Pangeran Selarong
berkedudukan sebagai musuh Mataram? Banyak timbul fitnah keji yang menjatuhkan
kehormatan Pangeran Selarong, namun Pangeran Selarong tetap bersabar dan
mengajarkan ajaran agama Islam di Padhepokan Selarong yang dipimpinnya.
Latar Belakang Sejarah
Pada
tahun 1645, Amangkurat Agung ia diangkat menjadi raja Mataram untuk
menggantikan ayahnya, dan mendapat gelar Susuhunan Ing Alaga. Ketika dinobatkan
secara resmi tahun 1646, ia bergelar Amangkurat atau Mangkurat, lengkapnya
adalah Kanjeng Susuhunan Prabu Amangkurat Agung. Dalam bahasa Jawa kata Amangku
yang berarti "memangku", dan kata Rat yang berarti "bumi",
jadi Amangkurat berarti "memangku bumi". Demikianlah, ia menjadi raja
yang berkuasa penuh atas seluruh Mataram dan daerah-daerah bawahannya, dan pada
upacara penobatannya tersebut seluruh anggota keluarga kerajaan disumpah untuk
setia dan mengabdi kepadanya.
Amangkurat
I mendapatkan warisan Sultan Agung berupa wilayah Mataram yang sangat luas.
Dalam hal ini ia menerapkan sentralisasi atau sistem pemerintahan terpusat.
Amangkurat I juga menyingkirkan tokoh-tokoh senior yang tidak sejalan dengan
pandangan politiknya. Misalnya, Tumenggung Wiraguna dan Tumenggung Danupaya
tahun 1647 dikirim untuk merebut Blambangan yang telah dikuasai Bali, namun
keduanya dibunuh di tengah jalan oleh Telik Sandhi Amangkurat-I.
Pada
tahun 1647 ibu kota Mataram dipindah ke Plered. Istana baru ini lebih banyak
dibangun dari batu bata, sedangkan istana lama di Kerta terbuat dari kayu.
Perpindahan istana tersebut diwarnai pemberontakan Raden Mas Alit atau Pangeran
Danupoyo, adik Amangkurat I yang menentang penumpasan tokoh-tokoh senior.
Pemberontakan
ini mendapat dukungan para ulama. Pemberontakan tersebut justru berakhir dengan
kematian Mas Alit. Amangkurat I kemudian berganti menghadapi para ulama,
diantaranya adalah Pangeran Selarong. Mereka semua, termasuk anggota
keluarganya, sebanyak 5.000 orang lebih dikumpulkan di alun-alun untuk
dibantai.
Hingga
muncul suatu fitnah, bahwa adanya upaya pembunuhan kepada Sunan Amangkurat-I
yang akan dilakukan oleh seorang santri Pangeran Selarong dengan cara
menggunakan racun Anglung Upas, sekiranya akan dituangkan ke peminuman sang
Sunan Amangkurat-I. Namun, sebenarnya hal itu hanyalah rekayasa semata yang
dikerjalan para Telik Sandhi sang Sunan Amangkurat-I untuk memojokkan
kehormatan Pangeran Selarong.
Atas
dasar tuduhan tersebut, maka Pangeran Selarong kemudian diburu Laskar Prajurit
Mataram. Perlawanan antara Laskar Santri Pangeran Selarong dengan Laskar
Prajurit Mataram pun terjadi dimana-mana, hingga mengakibatkan banyak jatuh
korban di pihak para ulama dan santri sang Pangeran Selarong. Hal tersebut
membuat hati Pangeran Selarong menjadi gundah, hingga sang Pangeran pun jatuh
sakit.
Keadaan
sang Pangeran Selarong tersebut disampaikan Telik Sandhi pada Sunan
Amangkurat-I, maka turunlah perintah untuk membunuh sang Pangeran Selarong.
Akhirnya, Pangeran Selarong dihukum mati dengan ditusuk keris oleh Telik Sandhi
Sunan Amangkurat-I, masih dibilang keponakannya sendiri, peristiwa ini terjadi
di desa Bareng, Kuwel dekat Delanggu pada tahun 1669.
Peristiwa
itu ditulis dalam Sedjarah Dalem, Babad Momana, Babad Tanah Jawi dan catatan
atau laporan Van Goens kepada Gubernur Jendral di Batavia.
Baca Juga : Panembahan Selarong
0 Response to "Panembahan Selarong"
Post a Comment